ARTICLE AD BOX
Football5Star.net, Indonesia – Tambah lagi, lagi, lagi, dan lagi. Setiap kali FIFA matchday, jumlah pemain naturalisasi di timnas Indonesia selalu bertambah. Dua bulan lalu, Maarten Paes menjalani debutnya. Bulan lalu, giliran Mees Hilgers dan Eliano Reijnders. Kini, Kevin Diks yang bersiap mendapatkan cap pertamanya di kancah internasional.
Total, ada 14 pemain naturalisasi yang dipanggil pelatih Shin Tae-yong dalam skuad yang dipanggil untuk pertandingan melawan Jepang dan Arab Saudi pada lanjutan putaran III kualifikasi Piala Dunia 2026 di Jakarta. Jumlah itu harusnya bertambah andai Mees Hilgers tak absen karena permintaan klubnya, FC Twente Enschede.
Keberadaan para pemain ini jadi warna tersendiri bagi timnas Indonesia. Mereka membuat Laskar Garuda lebih diperhitungkan oleh para lawan. Tak terkecuali tim-tim papan atas di Asia yang selama ini selalu jadi lawan tangguh bagi Indonesia. Hasil-hasil apik pun dituai dan berimbas pada kenaikan posisi Indonesia pada peringkat FIFA.
Terlepas dari faktor keberuntungan, tak dapat dimungkiri, kesuksesan Indonesia lolos ke putaran III kualifikasi Piala Dunia 2026 adalah bukti keberhasilan program PSSI yang digulirkan atas desakan Shin Tae-yong tersebut. Program ini pun sepertinya akan terus bergulir dan tak akan berhenti.
Panasea dan Candu
Gelombang pemain naturalisasi akan terus bergulung hingga tahun-tahun ke depan. Hal itu sudah ditegaskan Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo pada rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI saat pengesahan naturalisasi Kevin Diks. Menpora juga menyebut proses serupa mungkin dilakukan pada cabang-cabang lain.
Jadi, kita sepertinya sudah tak perlu lagi bertanya-tanya kapan PSSI akan menghentikan program naturalisasi pemain keturunan yang bisa disebut sebagai langkah potong kompas ini. Sudah jelas, program ini tak akan pernah berhenti. Program ini akan terus bergulir, menggelinding dari waktu ke waktu, tahun ke tahun.
Dengan langkah apik timnas Indonesia sejauh ini, program tersebut terbukti dapat menjadi panasea bagi sepak bola Indonesia tak tak jua berprestasi. Apalagi jika nanti Laskar Garuda mampu lolos ke putaran final Piala Dunia 2026. Bukankah seseorang tak akan berpaling dari sebuah obat yang dirasanya mujarab?
Tak dapat disangkal pula, obat mujarab itu pun perlahan menjadi candu. Ada perasaan lebih yakin dan percaya diri ketika timnas Indonesia dipenuhi pemain didikan luar negeri itu. Sebaliknya, hati jadi ciut dan pesimistis kala sebagian dari mereka harus absen. Pasalnya, kualitas pemain lokal sebagai pelapis berada jauh di bawah mereka.
Legalitas Naturalisasi
Terlepas dari hal itu, patut digarisbawahi, tak ada yang salah dengan program naturalisasi dari sudut pandang hukum dan regulasi. Aturan soal ini jelas-jelas tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Di sana, tercantum syarat-syarat pemberian status WNI bagi WNA.
Dalam UU itu juga ada celah untuk memberikan jalur khusus. Pada pasal 20 diatur soal naturalisasi khusus kepada orang-orang tertentu, yakni mereka yang dinilai berjasa kepada negara dan dibutuhkan oleh negara. Dalam sepak bola, aspek kepentingan negara yang dimaksud adalah membela timnas Indonesia.
FIFA pun demikian. Dalam statutanya, ada aturan soal syarat membela senuah negara. Di antaranya tercantum soal pemain yang telah dinaturalisasi. Selain itu, ada pula aturan yang membolehkan seseorang membela sebuah negara apabila dia lahir di negara itu, atau orang tuanya atau kakek/neneknya lahir di sana.
Sepanjang semua persyaratan sesuai aturan tersebut dipenuhi, tak ada masalah dengan naturalisasi. No debat! Apalagi, proses itu pada akhirnya harus disahkan oleh lembaga tinggi negara, dalam hal ini presiden dan DPR, juga FIFA. Tentunya, pengesahan itu tidak dilakukan secara main-main, bukan?
Tetap Naturalisasi
Aspek lain yang membuat program naturalisasi pemain sepak bola untuk timnas Indonesia tak akan berhenti adalah antusiasme publik. Sudah bukan rahasia, mereka yang mengkritisi program ini hanyalah kaum minoritas. Suara mereka pun saat ini hanya tinggal lamat-lamat terdengar.
Bukan hanya suporter dan warganet, para pelatih, eks pemain, hingga pakar pun berjajar di belakang PSSI. Mereka mendukung program tersebut karena dinilai sudah terbukti jadi panasea, mampu memperbaiki kualitas timnas Indonesia. Bahkan, pernyataan-pernyataan mereka tanpa tanda koma, tanpa ada kata “tetapi”.
Bagaimana jika hasil yang diraih tidak seperti saat ini? Rasanya program ini pun akan terus berjalan. Dalihnya, pemain yang dinaturalisasi belum tepat, bukan grade A, dan sebagainya. Akan ada nafsu untuk memburu para pemain keturunan yang lebih berkelas lagi, entah kelas internasional atau bahkan kelas dunia.
Rujukannya sangat mungkin timnas Maroko. Di sana ada sejumlah bintang yang sejatinya adalah didikan Belanda. Sebut saja Hakim Ziyech, Nordin Amrabat, dan Sofyan Amrabat. Hal itu bahkan sampai membuat geram Ruud Gullit, anggota trio Belanda di AC Milan (bukan Inter Milan) yang ngetop pada 1990-an.
Memburu Maroko
Pada 2019, dalam program Ziggo Sport, Ruud Gullit tak dapat menahan kegeramannya terhadap para pemain berdarah Maroko yang lahir dan menimba ilmu sepak bola di Belanda tapi enggan berkostum Oranje. Eks kapten timnas Belanda itu sampai mengeluarkan pernyataan keras bagi KNVB.
“Apa gunanya memilih pemain Maroko? Itu sama sekali tak berguna jika hasilnya seperti itu lagi. Saya paham memilih negara asal adalah sebuah kebanggaan, tapi KNVB harus mulai menolak melatih pemain-pemain untuk negara-negara lain,” kata Gullit kala itu seperti dikutip Football5Star.net dari The North Africa Post.
Jika belum juga meraih prestasi besar, sebut saja meraih trofi di level regional Asia, sangat mungkin PSSI akan terus menggebu-gebu dalam berburu pemain keturunan berkualitas tinggi di luar negeri, khususnya Belanda. Bukan tidak mungkin pula PSSI mencapai tingkat yang membuat Gullit muak terhadap Maroko.
Hal itu bukan tidak mungkin terjadi dengan kelihaian lobi Erick Thohir, Ketua Umum PSSI saat ini. Tanda-tana ke arah sana pun sudah terlihat dengan kesuksesan PSSI membujuk Sandy Walsh, Mees Hilgers, dan Kevin Diks. Mereka adalah deretan pemain yang lumayan terpandang di Eropa.
Tergantung Kepala
Lalu, apa yang dapat membuat program naturalisasi ini berhenti? Karena tak ada roadmap jelas dari PSSI, setidaknya ada 2 hal. Pertama, timnas Indonesia tak membutuhkan itu lagi karena kualitas pemain-pemain lokal yang sudah sangat baik. Untuk saat ini, hal itu sulit dibayangkan karena PSSI tak punya gebrakan untuk meningkatkan kualitas mereka.
Ada narasi yang menyebut keberadaan para pemain naturalisasi di timnas Indonesia seharusnya mencambuk para pemain lokal untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitasnya. Namun, untuk itu, mereka pun butuh insentif dari PSSI. Bukankah semangat bersaing saja tidak cukup? Mereka butuh fasilitas dan kompetisi yang juga bermutu tinggi.
Kedua, program ini tergantung Ketum PSSI. Jika suatu saat nanti sosok yang memimpin PSSI menyatakan tak mau lagi menaturalisasi pemain dari luar negeri dengan alasan-alasan tertentu, tentunya program ini akan tamat. Saat ini, itu tak akan terjadi karena Erick Thohir justru jadi orang yang paling menggebu-gebu.
Sosok Ketum PSSI juga akan sangat penting dalam lobi dengan pemerintah. Bukan tidak mungkin, Menpora dan anggota DPR suatu saat kelak akan lebih kritis dan menetapkan standar lebih tinggi untuk pemain-pemain yang akan dinaturalisasi. Jika lobi Ketum PSSI lemah, program ini pun potensial berakhir.